Diglosia Dalam Bahasa Arab


Oleh: Kholifiatul Masito*

Sumber gambar: almrsal.com

Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa bahasa Arab memiliki dua jenis karakter; fushah (formal) dan 'amiyah (non-formal). Dalam konteks 'amiyah misalnya, masyarakat Mesir mengatakan mesyi untuk menandakan sebuah persetujuan. Di Irak, masyarakat menggunakan kata shar, dan orang-orang Maroko menggunakan waadz. Para linguis sepakat bahwa perbedaan-perbedaan lahjat (dialek) dalam suatu bangsa adalah sebuah keniscayaan, serta merupakan bentuk kekayaan yang dimiliki oleh peradaban bangsa tersebut.

Namun yang sungguh disayangkan hari ini adalah sering kali bahasa 'amiyah lebih berkembang pesat dan menguasai berbagai bidang dalam masyarakat, termasuk bidang pemikiran dan pendidikan. Bukankah hal tersebut mampu menjadi faktor krusial yang dapat menggerus eksistensi bahasa Arab fushah sebagai lingua franca yang ada? 

  • Kejemawaan Amiyah

Menjamurnya pemakaian bahasa 'amiyah oleh masyarakat Arab telah disinggung oleh Dr. Ibrahim Hud-Hud, mantan rektor Azhar, dalam sambutannya pada perayaan Hari Bahasa Arab se-Dunia yang dimuat dalam majalah Al-Azhar edisi bulan Februari 2020. Dalam acara yang bertajuk "Bahasa Arab Bahasa Al-Quran" tersebut, beliau mengungkapkan terkait maraknya media cetak yang menggunakan bahasa 'amiyah dan menghimbau para penulis muda Arab untuk menulis dengan menggunakan bahasa Arab fushah. Hal tersebut upaya untuk mengangkat eksistensi bangsa Arab melalui kemurnian bahasa fushah yang dimilikinya.

Sebagai sarana berkomunikasi yang tujuannya adalah tersampaikannya maksud kepada lawan bicara, saya tidak mempermasalahkan penggunaan bahasa 'amiyah, jika bahasa 'amiyah dirasa lebih fleksibel, dan lebih memahamkan, mengapa mesti saya kritisi? Seperti yang sudah saya singgung sebelumnya, bahasa 'amiyah merupakan salah satu bentuk ejawantah kebudayaan masyarakat yang tidak dapat dielakkan.

Baca juga: Webinar Internasional; SEMA FBA Mesir Kerjasama dengan ITHLA

Namun sebagaimana yang diungkapkan oleh Dr. Ibrahim Hud-Hud di atas, saya juga meresahkan dengan kenyataan bahwa bahasa 'amiyah cukup jemawa dengan menguasai bidang pendidikan, penerbitan buku, pengajaran di kelas dan lainnya. Jika mendengarkan bahasa 'amiyah ketika saya sedang di pasar, atau di pusat perbelanjaan, mungkin sah-sah saja. Namun, seringkali merasa heran jika mendengarkan dalam ruang lingkup keilmuan, seperti mendengarkan siaran radio, berita Tv, atau bahkan seorang dosen yang menjelaskan pelajaran dengan bahasa tersebut.

Jauh sebelum hari ini Dr. Ibrahim Hud-Hud maupun saya beserta teman-teman sebagai praktisi bahasa Arab meresahkan pergeseran ini, tepatnya pada tahun 1881, kritik keras terhadap seruan untuk menggunakan bahasa 'amiyah ini sudah ada. Dalam kitab Fiqhu al-Lughah yang ditulis oleh Dr. Emil Badi' menyebutkan beberapa tokoh yang menyeru untuk menggunakan bahasa 'amiyah dalam setiap sektor kehidupan kala itu. Di antara para penyeru tersebut adalah seorang politikus Mesir, Ahmad Lutfi Sayyid yang menyebarkan sekitar tujuh artikelnya dalam sebuah koran dan mengajak kepada masyarakat untuk menghidupkan bahasa 'amiyah dalam kepenulisan. Selain Ahmad Lutfi Sayyid, juga terdapat tokoh-tokoh lain seperti Iskandar al-Ma'luf, al-Ab Marun Ghisn, Anis Farihah, dan lainnya.

  • Diglosia yang Tidak Stabil

Dalam KBBI sendiri kita dapat menemukan bahwa diglosia adalah sebuah situasi kebahasaan dengan fungsional atas variasi bahasa dalam sebuah masyarakat. Tentu saja, dalam situasi ini variasi tersebut diisi oleh fushah dan 'amiyah. Sikap saya di sini tentu saja mengkritisi seruan yang lebih mengunggulkan 'amiyah dibandingkan dengan fushah dalam segala bidang. Ini adalah sebuah kecacatan, serta sebuah diglosia yang tidak stabil. Saya mengatakan "tidak stabil" sebab satu bahasa yang ada dalam lingkar masyarakat tersebut nyatanya mampu menggerus bahasa lainnya, yakni eksistensi 'amiyah yang terus-menerus menghancurkan eksistensi fushah.

Bahasa fushah sebagai lingua franca di sini seolah-olah dibiarkan begitu saja, menjadi bahasa kitab suci, pun Hadits semata. Juga bahasa yang sudah cukup kuno. Menuturnya di tengah-tengah masyarakat Arab, justru membuat kita sang penutur ini menjadi aneh dan asing.

Itulah salah satu dampak dari ketidakstabilan yang terus berjalan ini. Dampak lain dari penggunaan 'amiyah yang terlalu mengejawantah tersebut adalah menghasilkan jarak antara mereka (para penutur bahasa Arab) dengan kaidah-kaidah yang ada dalam bahasa fushah. Mereka tidak memiliki ruang untuk mengasah dan mempraktikkan ragam kaidah yang telah mereka  pelajari di kitab-kitab Nahwu yang ada dalam dalam kehidupan sehari-hari. Lahn atau kesalahan-kesalahan dalam pelafalan semakin merebak sebab ditinggalkannya bahasa fushah oleh para penuturnya.

Oleh sebab  itu, dengan merujuk apa yang dikatakan oleh Dr. Ibrahim Hud-Hud di awal, perlunya untuk menyortir ragam bidang dalam menggunakan bahasa 'amiyah di dalamnya, terutama bidang informasi, publikasi, serta bidang pendidikan dan pemikiran yang ada.


*Penulis merupakan mahasiswi Fakultas Dirasah Islamiyah Jurusan Bahasa Arab Univ. Al-Azhar Kairo
Editor I: Tim Editor Majalah Fan Maqal Tahun 2019-2020
Editor II: Syafri Al Hafidzullah

1 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama