Nushus Adabiyah, Tangga untuk Memahami Agama

Oleh: Fajrur Rohmaniyyah Alfaini*
Sumber Gambar: Alfatih Media

Nushus merupakan salah satu materi kuliah pada Fakultas Bahasa Arab di Universitas Al-Azhar yang ada di setiap tingkatnya. Pada tingkat satu kita mempelajari Nushus Adab Jahily, pada tingkat dua kita belajar Nushus Adab Islam dan Umawi, pada tingkat tiga kita mempelajari Nushus Adab Abbasi juga Andalus, dan pada tingkat empat kita mempelajari Nushus Adab Modern.

Nushus sendiri terbagi menjadi dua, yakni syi'ir dan natsr. Pada tulisan ini, sebagaimana materi Nushus Adab Jahily di tingkat satu, penulis akan mencoba mengurai tentang syi'ir Imru Qais. Imru Qais adalah seorang dari Kabilah Kindah, yang bermigrasi dari Yaman ke Hijaz. Hidup di Hijaz dengan lingkungan bahasa dan sastra yang baik menjadikan Imru Qais memiliki malakah (skill) menulis syi'ir atau puisi sejak kecil. Imru Qais suka merayu dan membuat syi'ir ghazal (rayuan). Hingga akhirnya suatu hari sang ayah mengusir Imru Qais karena merayu salah satu selir ayahnya. Sejak itulah, Imru Qais menjalani kehidupan bebas yang keras, yang kemudian hal ini berpengaruh pada puisi yang ia ciptakan. Dalam salah satu puisinya, Imru Qais pernah menuturkan:
قِفَا نَبكِ مِن ذِكرَى حَبِيبِ وَمَنزِلِ ⁕ بِسِقطِ اللّوِي الدخول فحومل

Qifaa memiliki arti: berhentilah kalian berdua, menunjukkan kata perintah untuk dua orang. Padahal, Imru Qais melontarkan bait ini ketika ia sendiri. Dia sedang sendiri tapi dia membayangkan bahwa dia sedang melihat dua orang, padahal dua orang tersebut tidak lain adalah dirinya sendiri. Memang tidak jarang penyair Arab zaman dahulu yang memiliki khayalan tinggi, yang kemudian khayalan tersebut dituangkan dalam puisi mereka. Maka jika ingin memahami puisi dengan baik, kita pun harus turut masuk dalam dunia khayal mereka tersebut.

Kemudian nabki, memiliki arti: kami menangis. Maka, qifaa nabki, berhentilah kalian berdua, kami menangis. Seolah penyair mengatakan, "Hai, kamu berdua! Berhentilah, kami menangis!" Ada iltifat di sini, yang mulanya qifaa ini ditujukan pada mukhattab dengan dhamir antuma (kamu berdua), tapi kemudian menggunakan dhamir nahnu (kami) yang bermakna mutakallim. Kasus iltifat seperti ini dapat kita temukan juga di Al-Quran, pada ayat:
إِنَّا أَعطَينَاكَ الكَوثَر۝ فَصَلِّ لِرَّبِّكَ وَانحَر۝

Dalam terjemah Bahasa Indonesia, ayat ini berarti: "Sungguh Kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak. Maka laksanakan shalat karena Tuhanmu".

Pada ayat pertama, "Kami" di sini merujuk ke Allah, namun pada ayat kedua dikatakan shalatlah kau untuk Tuhanmu. Tuhan siapa lagi yang dimaksudkan di sini? Padahal yang memberi adalah Allah, dan kita harus taat beribadah kepada Allah? Hal ini dapat saya analogikan dengan saya mengatakan ke anak saya, "Ini saya beri kamu makanan, maka berbaktilah pada ibumu". Mengapa saya gunakan diksi berbaktilah pada ibumu, bukan berbaktilah padaku? Di sinilah kita temukan iltifat, perubahan dhamir yang mulanya mutakallim (nahnu) menjadi ghaib (huwa). Jika kita telusuri bagaimana maksud dari makna iltifat pada QS. Al-Kautsar ayat 1-2 ini, kata rabbika dipilih dengan maksud agar mutakallim mengetahui jika yang memberinya nikmat adalah Rabb-nya, dan tidak ada yang bisa memberi mutakallim (manusia) selain Rabb tersebut.


Dari penjabaran ini, ada satu poin yang ingin saya coba sampaikan kepada pembaca, yang hal ini pun dulu menjadi pertanyaan saya ketika masih mahasiswa baru. Mengapa sih kita harus belajar Nushus? Apa urgensinya? Setelah merenung lebih lanjut, saya temukan bahwa Nushus sendiri penting dipelajari bersamaan dengan mata pelajaran lainnya. Karena semua peristiwa pun segala budaya yang ada pada zaman dahulu tersimpan pada Nushus atau teks-teks yang ditulis.

Sastra sudah hidup dan berkembang di kalangan bangsa Arab sebelum Islam datang, bahkan sastra sangat dijunjung tinggi pada masa itu. Inilah mengapa kemudian Al-Quran diturunkan di tengah bangsa Arab. Karena mereka memahami sastra dibanding bangsa-bangsa lain. Kita sebut saja contoh ayat, Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’inu. Kita mungkin memahami kalimat ini dengan sebatas, "Hanya pada Engkaulah kami menyembah, dan hanya pada Engkaulah kami memohon pertolongan". Namun jika kalimat ini dipahami oleh orang dengan kemampuan ilmu alat yang mumpuni sebagaimana ia memahami sastra Arab, tentu beda lagi makna ayat yang didapat. Dengan tingginya makna sastra dalam ayat-ayat Al-Quran, bagaimana mungkin Al-Quran dapat dipahami oleh orang-orang yang tidak memahami sastra? Di sinilah pentingnya kita memahami Nushus dengan detail dari berbagai aspek, serta dengan penuh kesabaran.

Dalam pembelajaran Nushus Adabi di Al-Azhar sendiri, kita diajari memahami puisi dengan begitu teliti dan detail.

Sebelum masuk pada suatu puisi tertentu, kita terlebih dulu mempelajari tarjamatu asy-sya’ir (biografi penyair). Biografi penyair penting untuk kita ketahui sebelum memahami puisi miliknya, karena kita dapat memahami sudut pandang karya seseorang. Seperti puisi misalnya, melalui latar belakang penyair dan kondisi lingkungan pada masa hidupnya. Baru kemudian kita mengupas puisi itu sendiri. Mulai dari munasabatu al-qashidah (latar belakang qashidah itu ada), ma’ani al-kalimah (makna perkalimat), ma’ani al-bait (makna masing-masing bait), ma’na al-jamali (makna-makna indah yang lahir dari satu qashidah keseluruhan), hingga asraru al-ma’ani (makna-makna tersembunyi yang terkandung di sana). Tidak berhenti di situ, selanjutnya kita mengupas puisi tersebut dari sisi balaghi, mengapa penyair menggunakan diksi ini, mengapa penyair menggunakan dhamir (kata ganti) ini, dan lain sebagainya. Kemudian kita juga akan mengupasnya dari sisi 'arudh-nya, mengapa penyair memilih bahr ini, mengapa penyair memilih qafiyah ini, dan hal-hal lainnya.

Dari sini kita temukan bahwa belajar memahami puisi merupakan salah satu pintu untuk memahami Al-Quran. Dengan tingginya sastra dalam bahasa Al-Quran, kita dapat melangkah ke sana melalui tangga terdekat dengan memahami puisi-puisi Arab. Ilmu-ilmu yang kita gunakan untuk memahami puisi Arab termasuk ilmu-ilmu yang kita butuhkan pula untuk memahami Al-Quran. Ketika kita sudah terbiasa memahami puisi Arab dengan memperhatikan segala detail dan aspek yang telah saya sebutkan tadi misalnya, maka kita akan mempraktikkan metode yang sama pula ketika hendak memahami ayat-ayat Al-Quran.

Walakhir, semoga dengan adanya tulisan ini dapat menjadi jembatan untuk teman-teman baru dalam memahami urgensi mempelajari Nushus Adabiyah, dan menjadi reminder bagi teman-teman pelajar Fakultas Bastra Arab pada umumnya untuk lebih semangat menimba ilmu dan kemudian tak lupa membagikan hasil belajarnya dengan harapan dapat bermanfaat bagi sekitar.

*Penulis merupakan mahasiswi Jurusan Bahasa Arab Univ. Al-Azhar - Kairo
Editor: Ummu Maghfiroh
Publisher: Syafri Al Hafidzullah

إرسال تعليق

Post a Comment (0)

أحدث أقدم