Disarikan dari Kitab Hiwar Maa Shadiqi al-Mulhid
Bonus Majalah Azhar
Dr. Musthafa Mahmud
Oleh: M. Fakhruddin Arrozi
Doc: Source from Google
Umat Islam dari berbagai penjuru dunia melakukan nusuk (ibadah dalam waktu dan tempat tertentu) berhaji ke baitullah setiap tahunnya, dimulai dengan niat, ihram, thawaf, sai, mabit (bermalam), wukuf hingga tahallul (bercukur rambut).
Thawaf dilakukan dengan mengelilingi kabah sebanyak tujuh kali sambil membaca tasbih, tahmid, takbir, dan tahlil. Di luar thawaf, umat muslim melaksanakan shalat sebagai ibadah rutin—dalam minimal lima kali sehari—dengan menghadap ke arab kiblat, yakni kabah di Makkah. Tidakkah hal ini termasuk menyembah kabah yang ia hanyalah tumpukan batu sehingga sama halnya menyembah berhala?
Kita sebagai manusia memang diciptakan sebagai hamba yang lemah dan seringkali kurang mampu memperhatikan makna-makna yang telah disampaikan Allah dalam setiap kalam-Nya. Dalam hal thawaf, sebagian kita melihat dari sisi dzahir di mana manusia berkumpul dan mengelilingi tumpukan batu yang tertutup kiswah hitam. Tidakkah kita melihat bahwasanya setiap yang kecil mengelilingi sesuatu yang lebih besar daripadanya? Bulan mengitari Bumi, Bumi mengitari matahari, matahari mengitari galaksi, galaksi mengitari bintang-bintang yang lebih besar daripadanya, terus demikian hingga sampailah kita pada Yang Maha Besar, Allah SWT. Maka segala sesuatu wajib hukumnya mengitari-Nya. Dari sini, thawaf hakikatnya adalah kepada Yang Maha Besar, bukan sekadar kepada kabah itu sendiri.
Dalam kehidupan, segala sesuatu juga terjadi secara berputar. Kita dilahirkan dari yang sebelumnya tidak ada, berkembang beranjak remaja, dewasa hingga akhirnya menua dan mati, kembali menjadi sebuah ketiadaan. Demikian makhluk hidup diciptakan untuk kembali kepada Yang Menciptakan. Di balik segala hal ini, terdapat makna pelik yang sulit untuk kita nalar adanya.
Dalam serangkaian ibadah haji, kita sadari dalam segala hal dilakukan berulang sebanyak tujuh kali. Thawaf sebanyak tujuh kali, sai sebanyak tujuh kali, dan seterusnya. Mengapa hal ini menjadi sebuah ketentuan? Tidakkah itu sama halnya mengeramatkan angka tujuh?
Tidakkah kita melihat banyaknya angka 7 yang mengitari kita? Dalam tangga nada, kita menjumpai 7 tangga, mulai dari Do Re Mi Fa Sol La Si. Demikian pun jumlah warna pelangi ada 7, jumlah hari dalam seminggu 7, janin baru akan berbentuk menjadi bayi secara sempurna dalam bulan ke-7, dan sebagainya. Tidakkah hal ini menunjukkan suatu dalil bahwa ada makna sir (makna lain) di dalamnya?
Dalam segala amal ibadah yang kita lakukan setiap saat, setiap waktu, memiliki makna yang semuanya kembali kepada Sang Mahakuasa. Tidak ada hal percuma, tidak pula kosong pengertian. Semoga kita senantiasa menjadi hamba yang diridai dan beramal shalih.
#GerakanBacaBukuFBA
#BacaBuku1JamTiapMalam
Posting Komentar