Oleh: Lutvi Yunita Putri*
Sumber: magdalene.co |
Dogma yang beredar di masyarakat mengenal jahiliah adalah masa yang dipenuhi diskriminasi wanita. Trauma masa lalu ini menjadi cikal bakal munculnya tuntutan akan kesetaraan gender dan feminisme yang semakin hari marak di masyarakat publik. Tapi sudah pahamkah kita akan hal ini?
Untuk menguak suatu fenomena diperlukan suatu pemahaman yang utuh, tak cukup dari satu sisi. Dalam KBBI "jahiliah" berarti kebodohan, namun masa jahiliah tidak dapat diartikan hanya dengan kebodohan, ada kata masa yang menyertainya.
Jika kita memperhatikan peradaban saat ini yang berasal dari syair dan natsr atau sastra pada masa jahiliah, mungkinkah peradaban kita berangkat dari sebuah kebodohan? Tentu tidak, arti dari masa jahiliah yang sebenarnya ialah masa sebelum datangnya Islam dan Nabi Muhammad Saw. Maksud penggunaan dari kalimat "jahiliah" di sini berarti kebodohan akan Islam, bukan bodoh yang berarti tidak tahu apa-apa.
Beberapa orang berpendapat bahwa jahiliah tidak hanya teruntuk bangsa Arab saja, namun yang kita jadikan landasan saat ini ialah masa jahiliah di bangsa Arab. Keadaan saat itu memang sangat memprihatinkan. Emansipasi wanita sangat sadis dilakukan, pembunuhan bayi perempuan secara hidup-hidup, perdagangan budak bahkan sebagian istri menjadi korban. Namun tidak semua wanita diperlakukan seperti itu, ada beberapa kabilah yang masih menjaga kehormatan perempuan.
Berangkat dari semua ini, Allah Swt. mengutus Nabi Muhammad Saw., dan bersamanya Al-Qur’an sebagai pedoman serta memberi petunjuk akan kebodohan mereka. Di dalamnya terdapat berbagai ayat akan karamah wanita dan dengan diturunkannya ayat-ayat tersebut hak-hak yang seharusnya wanita miliki menjadi paten. Bukti Islam sangat memuliakan wanita dalam Al-Qur'an ialah setiap ayat yang berhubungan dengan wanita, Allah menyebutnya dengan sangat detail dan terperinci. Lihatlah betapa sayangnya Allah Swt. terhadap wanita.
Segala sesuatu ada batasannya, bahkan dalam hak sekalipun. Mengapa banyak batasan yang lekat dengan wanita? Katanya wanita juga punya hak? Wanita memiliki nafsu yang lebih banyak dibandingkan lelaki, tetapi kita cenderung bisa menahanya. Hal ini bisa terlihat saat hanya wanitalah yang dapat multitasking, kenapa? Simpel saja, karena wanita banyak maunya. Dari sini terlihat urgensi batasan untuk para wanita.
Baca juga: Histori Wanita di Era Jahiliah
Mari kita analogikan begini, ibarat suatu tumpukan bebatuan yang membentuk patung bak manusia serta diikat oleh rantai dari besi dan tembaga. Bayangkan jika rantai itu terlepas dari tumpukan bebatuan, yang terjadi adalah tumpukan batu tersebut akan runtuh, lenyap, tak berarah. Tumpukan batu itu adalah kita, sedangkan besinya adalah batasan-batasan untuk diri kita.
Feminisme? Kesetaraan gender? Masih pantaskah untuk dituntut? Dalam dunia ini segala sesuatu yang berdampingan tak bisa disamakan. Ketahuilah bahwa kesetaraan dan kesamaan di dunia ini akan menghancurkan, jikalau panas disamakan dengan dingin, Anda akan mati rasa. Jikalau malam disetarakan dengan siang, akankah Anda tahu kapan beristirahat dan beraktivitas?
Hak dan kewajiban setiap hal yang berdampingan tidaklah bisa disetarakan dan disamaratakan. Wanita punya hak dan kewajibannya, begitu pula laki-laki. Maka marilah kita berada pada kedudukan masing-masing menjalankan kewajiban dan jangan takut akan hak yang seharusnya Anda dapatkan. Jika Anda menjalankan kewajibanmu sebagai wanita, hakmu tak akan dinistakan oleh sekitarmu.
Trauma masa lalu akan emansipasi wanita memang perlu kita waspadai, tetapi hak sebagai wanita sudahlah terpatenkan dan tidak boleh diragukan lagi bahkan ada di dalam Al-Qur’an. Islam telah memberi kita kemuliaan dan sudah seharusnya pula menjalankan kewajiban akan diri ini dan berdiri pada kedudukan kita agar segala hal berjalan dengan dinamis dan sebagaimana mestinya.[]
*Penulis merupakan mahasiswi Fakultas Dirasah Islamiyah Jurusan Bahasa Arab Univ. Al-Azhar Kairo
Editor: Syafri Al Hafidzullah
Sayang sekali di akhiri dengan pandangan yang pragmatis.
BalasHapusPosting Komentar