Oleh: Ridwan Fauzi*
Saya tertarik menelaah pendapat Prof. Dr. Zakariya Abdul Majid mengenai relasi antara sastra dan dinamika kehidupan. Menurutnya, sastra akan mengalami kemajuan ketika kehidupan dalam satu cakupan wilayah senantiasa berkembang. Sebaliknya sastra akan mengalami kemunduran jika pergerakan kehidupan tersebut terhenti. Apa yang terjadi di Mesir pada saat dipimpin oleh Turki menjadi bukti nyata relasi ini. Saat itu, dinamika kehidupan di Mesir dibatasi. Terutama dalam bidang pendidikan. Akibatnya pergerakan intelektual dan sastra pada masanya mengalami kemunduran.
Melalui tolak ukur tersebut, pada kesempatan kali ini, mari kita mencoba untuk mendalami kondisi sastra Arab pada masa Islam dan Umawi. Periodenya terhitung sejak diutusnya Rasul Saw. sampai berakhirnya kekuasaan Bani Umayyah pada tahun 41 H. Selama itu, pasti terdapat kekuatan kehidupan baru bagi bangsa Arab. Lantas, apakah dinamika yang dibawa Islam membawa sastra Arab menuju kemajuan atau sebaliknya?
Kemunculan Islam merupakan fenomena dahsyat yang kemudian merevolusi sebagian besar sisi kehidupan bangsa Arab. Hal tersebut diraih melalui berbagai cobaan dan rintangan yang datang dari berbagai kalangan kaum musyrikin. Di antaranya adalah para penyair. Melalui bait-bait syair, mereka dengan lantang menghina Nabi Saw. beserta pengikutnya.
Akan tetapi bagaimanapun juga, Islam adalah ajaran yang memandang segala hal dengan objektif. Islam mengajarkan untuk selalu menilik mana yang seharusnya dibenci. Demikianlah yang dilakukan Nabi dalam menyikapi hinaan kaum musyrikin melalui syair-syairnya. Beliau tidak membenci syair, karena syair hanyalah alat, dan alat bukanlah sesuatu yang bisa dibenci.
Maka dari itu, Islam tidak pernah melemahkan kedudukan syair. Bahkan, Nabi Saw. sendiri memiliki para penyair. Mereka adalah Abdullah bin Rowahah, Hasan bin Tsabit, dan Ka'ab bin Malik. Dalam perjalanannya, mereka membela Nabi Saw. dari hinaan kaum musyrikin. Mereka juga aktif menggunakan syair sebagai wasilah untuk berdakwah.
Kondisi syair sebagai salah satu bentuk sastra pada masa awal Islam bahkan mengalami kemajuan. Sebab syair senantiasa eksis dalam mendokumentasikan berbagai macam peristiwa penting pada masa itu. Pada masa Khulafa ar-Rasyidin, para penyair selalu mendokumentasikan berbagai peristiwa penting. Mulai dari peristiwa ar-Riddah di masa Sayyiduna Abu Bakar, penaklukan wilayah utara Hijaz pada masa kekhalifahan Sayyiduna Umar, atau peristiwa fitnah yang menimpa Sayyiduna Utsman dan Sayyiduna Ali. Ketika setiap khalifah meninggal, para penyair mengungkapkan kesedihannya melalui bait-bait syair yang disebut syair Ritsā.
Setelah Khulafa ar-Rasyidin, kepemimpinan umat Islam jatuh ke tangan Bani Umayyah. Khalifah pertamanya adalah Muawiyah bin Abi Sufyan. Seperti yang telah disebutkan, periode sastra pada masa Islam ini berakhir setelah kepemimpinan Khalifah Marwan II bin Muhammad pada tahun 41 H. Sejak masa awal dinasti Umayyah, sastra Arab mencapai kemajuan yang signifikan. Seperti maraknya penyair baru dari kalangan tabi'in, dan yang paling menonjol adalah kemunculan pertarungan sastra yang disebut dengan an-Naqāid as-Syi'riyah. Di mana para penyair saling berbalas syair dengan struktur syair yang sama. Baik dari segi bahr, qafiyah, dan lain sebagainya.
Riuhnya kehidupan saat itu merupakan faktor utama kemajuan sastra Arab. Sumbernya adalah dinamika politik. Pada masa itu, terdapat setidaknya lima golongan politik. Yaitu, golongan Umawi, Syiah, Khawarij, Murji'ah dan az-Zubairiyun. Masing-masing golongan memiliki para penyairnya masing-masing. Mereka digunakan untuk kampanye gagasan golongannya sekaligus menjatuhkan golongan yang lain.
Dalam menguatkan kekuasaannya, dinasti Umawi melakukan berbagai macam penaklukan secara meluas. Kekuasaan adidaya Persia bahkan berhasil ditaklukan. Penaklukan tersebut melahirkan akulturasi antara budaya Persia dan Arab. Secara bertahap, hal tersebut memberikan pengaruh terhadap bahasa dan sastra Arab. Misalnya, terdapat banyak kata dari bahasa Persia yang diserap ke bahasa Arab.
Hal terakhir yang menandai kemajuan sastra Arab adalah munculnya para perawi syair. Tidak seperti periwayatan pada masa Jahiliyah, para perawi di masa Umawi memiliki teknik yang lebih sempurna. Dimulai dari al-Hifdz (hafalan), an-Naql (memindahkan kutipan), dan al-Insyad (bersenandung). Hal inilah yang kemudian menjadi awal mula pembukuan syair pada masa setelahnya.
Dinamika kehidupan pada masa awal Islam dan Umawi yang kaya akan peristiwa mendukung sastra untuk maju. Di mana hal tersebut berhasil dimanfaatkan oleh para pegiat sastra di masanya. Sehingga karya-karya mereka menjadi sumber kajian yang dipelajari hingga kini. Mulai dari segi kaidah bahasa, sosial, maupun sejarah.
Hal yang dapat kita ambil sebagai pelajar sastra adalah berani untuk terjun ke dinamika kehidupan yang sedang kita hadapi. Keluar dari zona nyaman, dan memberdayakan segala apa yang kita miliki. Tidak ada hal yang membatasi kita untuk berkarya, selebihnya bagaimana kita sendiri yang akan menentukan nasib sastra kedepannya.[]
*Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Bahasa Arab Univ. Al-Azhar - Kairo
Editor & Publisher: Syafri Al Hafidzullah
Editor & Publisher: Syafri Al Hafidzullah
Posting Komentar