Oleh: Nikmatul Istiqomah*
Sumber Gambar: islami.co |
أمن أم أوفي دمنة لم تكلم * بحومانة الدراج فالمتثلم
Masihkah (tersisa) dari Ummu Aufa puing-puing rumah yang tidak mau berbicara pada distrik padat antara Durraj dan Mutatsallam?
Pada bait ini, Zuhair memilih Ummu Aufa sebagai pengantar kasidahnya karena ia merupakan istri yang telah diceraikan sebab semua anak yang dikandung oleh Ummu Aufa tidak ada satu pun yang hidup. Dalam permulaan kasidah, penyair bercerita tentang kedatangannya ke rumah mantan istrinya. Namun, ia tidak mendapati apapun selain kenangan dan reruntuhan. Sementara pada bait setelahnya, Zuhair bersenandung:
فأقسمت بالبيت الذي طاف حوله * رجال بنوه من قريش وجرهم
يمينا لنعم السيدان وجدتما * على كل حال من سحيل ومبرم
يمينا لنعم السيدان وجدتما * على كل حال من سحيل ومبرم
Aku bersumpah atas nama Ka’bah yang dikelilingi oleh kabilah Quraisy dan Jurhum.Aku pun bersumpah, sungguh mereka dua kabilah yang mulia, baik pada waktu damai maupun bertikai.
Pada bait ini, Zuhair tampak memuji dua kabilah, yakni Quraisy dan Jurhum (khususnya kepada Haram bin Sinan dan Al-Haris bin Auf) sebab keduanya telah bertutur kata dengan baik. Keduanya tidak memprovokasi, berusaha sekeras tenaga, serta mengorbankan harta bendanya untuk tebusan perang. Guna mendamaikan pertikaian yang terjadi antara kaum 'Abs dan Dzubyan kala itu.
Seluruh kasidah ini mengisahkan tentang pertikaian yang terjadi antara kedua kabilah. Zuhair memilih Ummu Aufa sebagai pengantar kasidahnya, sebagai simbol dari peperangan yang tidak menyisakan apapun selain reruntuhan dan kesengsaraan. Jika pertikaian terus berlanjut, keadaan akan berakhir sama seperti kisahnya dengan sang mantan istri. Banyak darah yang akan tumpah, sebagaimana anak-anak Zuhair yang tidak tersisa satu pun. Dan ketika mendatangi tempat peristiwanya, yang tersisa hanyalah kenangan dan reruntuhan. Segalanya akan sirna. Ini yang saya maksud dengan korelasi yang kuat antara Ummu Aufa dan pertikaian yang menjadi tema inti dalam kasidah ini.
Hal serupa hampir terjadi di seluruh puisi Jahiliah. Bahkan puisi ritsā yang mengisahkan ratapan penyair kepada orang yang meninggal, penyair tetap mengawali puisinya dengan ghazal. Sebagaimana yang terjadi pada kasidah ritsā Duraid kepada saudaranya, Abdullah.
Jika pembaca hanya melihat secara sekilas susunan puisi Jahiliah ini, pembaca akan tergesa-gesa mengambil kesimpulan bahwa antara satu bait dengan bait yang lain tidak ada kaitannya sama sekali. Padahal jika ditelaah lebih dalam lagi, selalu ada korelasi kuat antara satu lafaz dengan yang lainnya, juga satu bait dengan yang lainnya.
Sebagaimana telah dijelaskan di awal bahwa pengantar ghazal pada akhirnya memiliki penafsiran yang berbeda-beda. Entah diartikan sebagai kekasih yang sesungguhnya atau sekadar simbol saja. Hal ini juga digambarkan pada burdah Ka'ab bin Zuhair pada bagian awal kasidahnya:
بانت سعاد فقلبي اليوم متبول * متيم إثرها لم يفد مكحول
Su’ad berpisah jauh sekali, hari ini hatiku sedih, sakit karena cinta.Lemah lunglai tidak mampu lepas dari ketertawanan dan belenggu.
Ada yang berpandangan bahwa Su'ad di sini merupakan perempuan yang dicintai dan dikasihi oleh Ka'ab. Namun, ada juga yang mengatakan bahwa Su'ad di sini bukan nama seorang perempuan, melainkan arti dari Su’ad yang sesungguhnya, yakni kebahagiaan. Sebab jika penulis melihat pendapat kedua, hal ini akan sangat sesuai dengan situasi yang terjadi pada penyair kala itu. Di mana kebahagiaan dan keamanan Zuhair lenyap seketika saat ia mendengar kabar bahwa Rasulullah Saw. menginginkan darah Ka'ab bin Zuhair yang kala itu belum memeluk Islam, serta menjadi salah satu penyair yang paling banter menghina Rasulullah.
Ibnu Rasyiq dalam bukunya al-'Umdah, menyampaikan bahwa setiap penyair memiliki nama-nama yang enak di lidah dan manis di mulut. Tidak sedikit dari mereka yang mendatangkan nama-nama ini sebagai rekayasa atau dibuat-buat saja, dalam artian bukan wujud perempuan sesungguhnya seperti Layla, Hindun, Salma, Lubna, dan Fatimah.
Pandangan Ibnu Rasyiq ini mendapat sanggahan dari Dr. Lutfi Abdul Badi' yang ditulis pada bukunya yang berjudul at-Tarkib al-Lughawi li al-Adab. Ia tidak sependapat dengan pandangan Ibnu Rasyiq. Ia menegaskan bahwa penyebutan nama-nama ini tidak hanya karena enak di lidah dan manis di mulut atau sekadar rekayasa saja, akan tetapi penyair selalu memiliki alasan tersendiri dalam menuturkan nama-nama tersebut.
Dalam menyebutkan nama-nama ini, penyair tentu tidak asal-asalan, sebab salah satu nilai penting dari penyebutan nama ini ialah mengabadikan nama tersebut agar tidak lekang oleh masa. Sebab makna dari nama-nama tersebut melampaui nama-nama putri Hawa. Mereka bukan seseorang yang menyantap makanan dan mendiami tenda saja, melainkan juga memiliki kisah dan peristiwa penting dalam arus perjalanan kehidupan penyair.
Kebanyakan penyair mendendangkan puisi dengan diawali ghazal. Salah satu sebabnya adalah tabiat manusia yang lebih tertarik pada hal-hal yang berkaitan dengan cinta. Jika di bagian awal kasidah saja sudah mampu membuat pendengar atau pembaca tertarik, tentunya ia penasaran dengan apa yang selanjutnya akan penyair lantunkan. Sehingga pembaca atau pendengar akan terus membaca atau mendengarkan kasidah hingga akhir bait. Inilah salah satu dari sekian banyak hal menarik dari puisi Arab klasik yang tidak pernah habis untuk digali dan dipelajari. Wallahu A'lam.[]
*Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Dirasah Islamiyah lil Banat, Jurusan Bahasa Arab, Univ. Al-Azhar - Kairo
Editor: Nida Adzkiya
Editor: Nida Adzkiya
Publisher: Syafri Al Hafidzullah
Posting Komentar