Oleh: Nikmatul Istiqomah*
Awal mula eksistensi dialek Quraisy, tidak dimulai sejak turunnya Al-Quran. Melainkan jauh sebelum itu, yakni ketika masa Jahiliah. Ibnu Khaldun berpandangan bahwa dialek Quraisy merupakan dialek Bahasa Arab paling fasih dan jelas, karena mereka terletak jauh dari negara 'Ajam.
Terpilihnya dialek Quraisy sebagai bahasa pemersatu bangsa, setidaknya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satunya faktor agama. Kabilah Quraisy yang mendiami Makkah pada saat itu, khususnya dekatnya mereka dengan Ka'bah menjadi faktor penting yang menjadikan mereka memiliki otoritas keagamaan terhadap Bangsa Arab secara keseluruhan.
Selain itu, terdapat juga faktor lain yang mempengaruhi hal tersebut, yaitu faktor ekonomi. Bangsa Quraisy dikenal dengan kepiawaiannya dalam berniaga. Mereka menjalankan keniagaan ini dengan memanfaatkan pasar yang ada, seperti pasar 'Ukaz, Dzul Majaz, Shon'a dan lainnya.
Keberadaan pasar saat itu menjadi angin segar tidak hanya untuk kalangan para peniaga saja, melainkan juga penyair dan khatib. Uniknya, mereka kala itu berbondong-bondong mendatangi pasar untuk membacakan syair yang kebanyakan berisi tentang rasa bangga mereka terhadap kabilah masing-masing, yang otomatis memancing kabilah lain untuk saling berbalas syair.
Syair-syair yang telah didendangkan mereka ini nantinya akan mendapat apresiasi ketika syairnya terbilang bagus dan akan diolok-olok ketika nilai syairnya buruk. Dari sinilah, muncul karya-karya syair hebat masa Jahiliah seperti Mu'allaqat, Sha'alik, Abid Asy-Syi'r dan lain sebagainya.
Metode Periwayatan dan Autentisitas Syair
Gubahan syair masa Jahiliah bisa sampai kepada kita, diawali dengan cara periwayatan dari mulut ke mulut. Hal ini disebabkan karena mayoritas dari mereka belum mengenal baca tulis. Sehingga setiap penyair pada masa itu selalu memiliki perawi, yang nantinya akan meriwayatkan syair-syair yang telah didendangkan. Baik perawi tersebut berasal dari keluarga sendiri maupun bukan.
Metode periwayatan ini, kemudian dijadikan beberapa tokoh sebagai celah untuk mengkritik serta menanyakan keaslian syair Jahiliah. Ulama klasik membagi setidaknya ada dua tipe plagiarisme syair Jahiliah. Pertama, syair jahiliah bukan karya agung yang telah digubah sejak masa Jahiliah, melainkan dibuat baru-baru ini setelah datangnya Islam. Kedua, syair jahiliah memang sudah ada sejak dahulu, namun terdapat banyak sekali kesalahan penisbahan kepada sang pemilik karya. Pandangan yang kedua barangkali masih bisa diterima, sebab tujuan dari pandangan ini merujuk kepada penjernihan syair jahiliah dari syair-syair gadungan.
Salah satu kritikus sastra dari Bashrah, Muhammad bin Salam al-Jumhi, menuturkan dua faktor pendorong plagiarisme syair jahiliah dalam bukunya, Thabaqat al-Fuhul asy-Syu'ara. Faktor pertama yakni kabilah, termasuk di dalamnya keturunan serta kerabat penyair. Ia berpandangan bahwa terdapat beberapa keluarga penyair yang sebetulnya hanya memiliki sedikit riwayat syair dan kisah yang dinisbahkan kepada keluarga mereka. Namun, demi eksistensi dan keinginan untuk dikenal sebagai keluarga penyair, mereka kemudian membuat sendiri syair-syair yang dinisbahkan kepada keluarga mereka. Terlebih menggubah sebuah syair bukanlah hal sulit bagi orang Badui yang telah dianugerahi kefasihan secara fitrah. Sehingga amat sulit untuk membedakan mana syair yang asli dan mana yang mereka buat sendiri.
Faktor kedua yaitu perawi. Ibnu Salam mengklasifikasikan perawi menjadi dua. Pertama, perawi gadungan memalsukan syair dengan menambah dan mengurangi kandungan syair, seperti Hammad ar-Rawiyah. Kedua, penyair yang meriwayatkan syair palsu, seperti Muhammad bin Ishaq bin Yasar. Seorang perawi yang pernah meriwayatkan syair, yang dinisbahkan kepada kaum 'Ad dan Tsamud. Padahal Al-Quran sudah jelas-jelas menuturkan kebinasaan kedua kaum ini.
Pembahasan ini menjadi perbincangan hangat yang terus menerus dikaji. Salah satunya pandangan David Samuel Margoliouth, yang kemudian menuai banyak kritik. Pandangannya tentang plagiat syair jahiliah ia tuangkan melalui sebuah jurnal berjudul "The Origins of Arabic Poetry" yang terbit pada tahun 1925 M.
Baca juga: Histori Wanita di Era Jahiliah
Ia meragukan autentisitas syair jahiliah, karena menurutnya syair jahiliah tidak mungkin merujuk kepada bangsa Jahiliah yang buta huruf. Bagaimana orang-orang yang tidak memiliki peradaban mampu menciptakan karya yang luar biasa sehebat itu. Ditambah lagi pada sisa peninggalan sejarah, tidak ditemukan satu pun jejak yang menunjukkan aktivitas kepenyairan mereka.
Pendapat ini kemudian dibantah oleh Braunlich. Bahwa kepenyairan seseorang tidak ada kaitannya dengan peradaban, maupun status sosial seseorang. Hal tersebut sudah menjadi tabiat orang-orang Badui, sebagaimana telah dituturkan di atas.
Tidak hanya berhenti sampai di situ, Margoliouth kembali menyerang dari sisi bahasa. Jika memang syair jahiliah tidak dibuat setelah datangnya Islam, mengapa bahasa dan dialek yang digunakan sama persis seperti yang tertulis dalam Al-Quran? Jika memang syair jahiliah datang dari kelompok Badui, tentunya syair mereka akan didendangkan dalam berbagai dialek sebagaimana kondisi bangsa Badui dengan dialeknya yang beragam. Bantahan akan pandangan kedua ini, sudah dituturkan secara runtut dalam pembahasan sebelumnya.
Jika kita kembali lagi ke bangsa Arab akan kita temukan Thaha Husain yang memiliki pandangan serupa dengan Margoliouth. Salah satu komentar Thaha Husain tentang keraguannya terhadap syair jahiliah, tertuang dalam bukunya Fi al-Adab al-Jahili:
"Sesungguhnya kebanyakan karya sastra yang dinamakan dengan Sastra Jahili (Adab Jahili) bukanlah produk Jahiliah. Akan tetapi semua itu adalah karya-karya yang dibuat setelah kemunculan Islam yang bersifat Islamis dan mencakup segala kehidupan umat Islam, kecondongan-kecondongan serta keinginan-keinginannya, yang keseluruhannya itu memiliki porsi yang lebih besar dibanding dengan penggambaran kehidupan Jahiliah".
Pandangan-pandangan ini, terbilang sangat berbahaya. Karena dimulai dari penyerangan syair jahiliah ini, nantinya mereka akan menyikapi hal yang serupa terhadap Al-Quran. Menyikapi hal ini, dalam diktat Tarikh al-Adab al-Jahili dituturkan bahwa memang terdapat beberapa syair jahiliah yang dipalsukan dan tidak bisa dipertanggungjawabkan keautentikannya. Namun, ulama-ulama terdahulu tentu sudah menyikapi hal ini dengan mengkritisi syair-syair palsu tersebut secara objektif.
Tentu tidak sah jika kemudian sebab hal ini, kita menafikan adanya syair jahiliah secara keseluruhan. Dalam artian, tidak sedikit syair jahiliah yang sudah dijamin keasliannya secara mufakat oleh para ulama. Adapun syair yang keautentikannya masih diperselisihkan, hendaknya menjadi kajian dan pendalaman bersama untuk kita sebagai penerus umat Islam. Wallahu A'lam.[]
*Penulis merupakan mahasiswi Fakultas Dirasah Islamiyah Jurusan Bahasa Arab Univ. Al-Azhar - Kairo
Editor: Fakhri Abdul Gaffar
Publisher: Syafri Al Hafidzullah
Editor: Fakhri Abdul Gaffar
Publisher: Syafri Al Hafidzullah
Posting Komentar