Apakah Sastra Arab Mengalami Akulturasi?

Oleh: Ainun Maftuhah Putunaisa*
Sumber Gambar: Lingkar Kediri
Melalui literatur sejarah kebudayaan, kita bisa melihat betapa cerdik dan cerdasnya budayawan masuk ke dalam suatu wilayah. Bahkan kepandaian tersebut terus berlanjut ketika wilayah itu sudah ada di tangan mereka. Mereka mampu mempertahankannya dengan sangat apik. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya seni sastra yang menjadi salah satu alat untuk mewarnai kehidupan mereka, salah satu contohnya adalah karya sastra gubahan Hamzah Fansuri (salah satu sastrawan klasik Indonesia) yang berjudul Syair Perahu:

Inilah gerangan suatu madah
Mengarangkan syair terlalu indah
Membetuli jalan tempat berpindah
Di sanalah i’tiqad diperbetuli sudah

Jika kita telusuri syair di atas memiliki kemiripan karakteristik dengan puisi-puisi Arab pada umumnya. Mari kita telusuri bersama.

Pertama, dari aspek bahasa, Prof. Dr. Abdul Hadi W.M berkomentar bahwasanya jasa Hamzah Fansuri untuk menginternalisasi Bahasa Arab ke dalam Bahasa Melayu dapat dilihat dari puisi-puisinya yang menggunakan kosakata bahasa Arab. Di bait pertama, Hamzah menyebutkan kata "madah". Kata ini diambil dari Bahasa Arab (madh) yang berarti pujian, selain itu madh juga termasuk ke dalam aghrad syi'ir atau tujuan dari bentuk puisi. Dan perlu diingat, pengelompokan tujuan puisi merupakan salah satu ciri-ciri dari sastra Arab klasik.

Kedua, dari aspek bentuk, konstruksi puisi sastra Arab klasik diatur oleh kaidah ilmu ‘Arudh dan Qawafi. Dari beberapa bait puisi di atas kita bisa melihat upaya Hamzah Fansuri untuk mengikuti hal tersebut. Puisi "Syair Perahu" ini mengandung rima dan metrum, yang berarti dalam istilah sastra Arab klasik dikenal dengan ilmu ‘Arudh dan Qawafi. Kedua hal ini memang tidak memiliki kemiripan. Namun serupa, bukan? Dari sini bisa dilihat adanya sebuah akulturasi sastra yang tercipta melalui karya Hamzah Fansuri.

Peristiwa ini menjadi menarik bagi saya karena beliau terpengaruh oleh pemikiran sastra Arab. Dari sini pula saya bertanya-tanya, mungkinkah sastra Arab juga terpengaruh oleh sastra lain? Mungkinkah sastra Arab mengalami akulturasi?

Berbicara mengenai sastra Arab kita tidak bisa mengatakan seenaknya bahwa ia pasti terkena pengaruh dari sastra lain. Kita tidak bisa menafikan bahwasanya Bahasa Arab ini istimewa, perlu kajian yang lebih dan hati-hati dalam mencari jawaban dari pertanyaan di atas.

Ada dua sudut pandang dalam pengklasifikasian sastra Arab. Pertama berdasarkan keautentikan Bahasa Arab, kedua berdasarkan sosial politik bangsa Arab.

Klasifikasi Sastra Arab Berdasarkan Keautentikan Bahasa Arab

Dilihat dari sudut pandang ini, sastra Arab dikelompokkan menjadi empat kelompok. Pertama, sastra klasik yang dimulai sejak lahirnya sastra Arab pada zaman Jahiliah hingga masa awal Islam. Bahasa yang digunakan pada masa ini masih murni belum tercampur bahasa manapun. Kedua adalah sastra islami, para penyair di era ini masih menggunakan Bahasa Arab yang murni. Namun, perkembangan genre, pemilahan kata, ide, dan konsep pemikirannya berubah mengikuti alur sejarah. Dari yang awalnya bernuansa jahiliah menjadi islami. Salah satu penyair yang terkenal pada era ini adalah Hasan bin Tsabit, Ka’ab bin Zuhair, Farazdaq, Jarir, dan Akhthal.

Selanjutnya adalah sastra muwallad, diawali sejak masa Dinasti Abbasiyah dan Andalus. Di era sastra muwallad, Bahasa Arab murni mulai memudar, karena pada saat itu sastra Arab mulai bercampur dengan bahasa-bahasa asing. Terakhir adalah sastra modern, dimulai sejak peristiwa kedatangan Napoleon Bonaparte dengan kampanye Prancis-nya di Mesir pada tahun 1798 M. Tentunya pada saat itu sastra Arab telah mengalami banyak hal dan dapat dipastikan keautentikan Bahasa Arab tidak murni lagi. Akan tetapi di masa modern ini terdapat rekonstruksi sastra yang diusung oleh Al-Barudi dan kawan-kawan yang berupaya mempertahankan kemurnian sastra Arab.

Klasifikasi Sastra Arab Berdasarkan Sosial Politik Bangsa Arab

Hanna Al-Fakhoury seorang ahli bahasa dari Lebanon membagi sastra Arab berdasarkan sosial politik ke dalam lima periode, yaitu:
  1. Masa Jahiliah dibagi ke dalam dua periode:
    - Sastra Arab sebelum abad ke-5 Masehi
    - Sastra Arab setelah abad ke-5 Masehi hingga tahun 622 M (Hijrah Nabi)
  2. Masa Islam (622-750 M/1-132 H) dibagi ke dalam dua periode:
    - Masa Khulafaurasyidin (622-661 M /1-40 H)
    - Masa Bani Umayah (661-750M/40-132H)
  3. Masa Abasiyah (750-1258 M/ 132-656H) yang dibagi ke dalam dua periode:
    - Masa Kejayaan (750-1085 M/132-450H)
    - Masa Keruntuhan hingga jatuhnya Baghdad di bawah kekuasaan Tatar (1085-1258M/450-656H)
  4. Masa Kemunduran (1258-1805 M/656-1220 H) dimulai dari jatuhnya Baghdad di tangan Hulagu Khan dan dikuasainya Mesir oleh Muhammad Ali Pasha.
  5. Masa Kebangkitan (1805 M/1220 H) dimulai dari masa pemerintahan Muhammad Ali Pasha hingga saat ini.
Klasifikasi di atas menggambarkan bagaimana dinamika perkembangan sastra Arab hingga detik ini. Di mana ia pernah menduduki masa keemasan, lalu terjatuh, hingga akhirnya bisa bangkit dan bersinar kembali. Penggolongan di atas juga menggambarkan bagaimana Bahasa Arab mulai berkelana dan bercampur dengan bahasa asing.

Dari sini dapat kita simpulkan secara global bahwa sastra Arab ini mengalami dua periode: Pertama sastra Arab klasik, di mana sosial politik bangsa Arab saat itu masih berada dipuncak kejayaan sehingga bahasa, budaya, dan pemikiran mereka pada saat itu masih murni karena belum banyak bercampur dengan bahasa asing. Kedua sastra Arab modern atau kontemporer, yang mana sosial politik bangsa Arab saat itu ada di fase stagnan bahkan mulai melemah hingga banyak sekali serangan untuk menjatuhkan kekuasaan, yang ternyata berdampak besar bagi perkembangan bahasa dan sastra Arab.


Menurut hemat saya, sastra Arab mulai terpengaruh saat keadaan sosial politiknya berada di fase stagnan. Karena pada saat itu banyak kompetitor yang ingin menaklukkan wilayah-wilayah kekuasaan Islam, akibatnya bahasa asing berhasil masuk dan menjalar ke telinga masyarakat Arab yang secara tidak langsung mempengaruhi kemurnian dan kefasihan Bahasa Arab. Mereka juga memperkenalkan ilmu pengetahuan, yang sedikit banyaknya mempengaruhi budaya dan pemikiran masyarakat Arab. Walaupun kekuasaan Islam dapat ditaklukkan, terdapat nilai positif yang bisa kita petik. Peristiwa ini menjadi titik awal kesadaran bangsa Arab bahwa mereka ada di posisi kegelapan, sedangkan Barat berada di posisi gemerlapan, lalu bangsa Arab menjadikan momen ini sebagai batu loncatan untuk bisa bangkit dan bersinar kembali.

Awal mula kebangkitan sastra Arab ditandai dengan kedatangan Napoleon ke Mesir untuk berkampanye. Jika kita lihat secara geografis, Mesir ini berada di posisi yang strategis, maka tak heran banyak yang ingin menguasai wilayah ini.

Sebelum Prancis melancarkan kampanye ke Mesir, kekuasaan Mesir berada di tangan Turki Utsmani. Saat itu sastra Arab tidak berkembang karena Turki Utsmani ingin menjadikan bahasa Turki sebagai bahasa resmi. Jadi, segala hal yang berkaitan dengan bahasa Arab dibekukan. Pada tahun 1798 M, Prancis berhasil menjalankan kampanye. Invasinya ke Mesir tidak hanya membawa ribuan pasukan bersenjata, melainkan dia juga membawa para ahli dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan, serta membawa dua set alat percetakan dengan huruf Latin, Arab, dan Yunani.

Kedatangannya berdampak positif bagi kesusastraan Arab, pasalnya selain membawa para ahli ilmu dan alat cetak, mereka juga mendirikan sebuah lembaga pendidikan yaitu Institute D’Egypte (sekarang dikenal dengan sebutan المجمع العلمي المصري yang terletak di Tahrir, Kairo). Lembaga ini terdiri dari empat bidang ilmu pengetahuan: ilmu pasti, ilmu alam, ilmu ekonomi-politik, juga ilmu sastra-seni. Kampanye Napoleon harus berakhir pada tahun 1801 M, karena Turki Utsmani berhasil merebut kembali hati masyarakat Mesir di bawah kepemimpinan Muhammad Ali Pasha.

Kesusastraan Arab berkembang pesat ketika Mesir berada di tangan Ali Pasha. beliau mengirimkan ribuan mahasiswa ke negara Eropa, seperti Perancis, Italia, dan Inggris untuk menimba berbagai ilmu pengetahuan di sana. Saat kembali ke Mesir mereka mulai melakukan beragam inovasi di berbagai bidang, salah satunya sastra Arab. Mereka menunjukkan eksistensi sastra Arab dengan menciptakan karya-karya baru dan juga lingkungan belajar yang lebih berkualitas. Sejak itu muncul aliran baru yang dikenal dengan sebutan Klasik, munculnya aliran ini menjadi tanda bahwa sastra Arab sedang berada di fase modernisasi. Tokoh terkemuka dari aliran ini adalah Muhammad Sami Al-Barudi.

Perkembangan sastra Arab belum berakhir sampai di situ, selain aliran Klasik ada hal baru yang juga lahir dari akulturasi ini , di antaranya yaitu:
  1. Madrasah Jam’iyatu ad-Diwan: komunitas kritikus dan sastrawan Arab yang beranggotakan Aburrahman Syukri, Abbas 'Aqad, dan Ibrahim Al-Mazini. Mereka terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran Barat, salah satunya pandangan Wordsworth, penyair asal Inggris yang mengatakan bahwa puisi adalah spontanitas yang kuat dan tajam. Maka tak heran jika puisi mereka masuk ke dalam kelompok Romantisme yang bertemakan keindahan, kemuliaan, kejayaan, dan hal-hal yang berkaitan dengan perasaan.
  2. Madrasah Mahjar: komunitas kritikus dan sastrawan Arab Mahjar (para penyair Syiria yang hijrah ke Amerika). Anggotanya adalah Gibran Khalil Gibran, Mikhail Nu'aimah, Fawzi Al-Ma'luf, Ilyas Farhat, dan lainnya. Karakteristik sastra mereka merupakan campuran dari unsur dinamis spiritualitas Timur dan romantisme Barat, mereka menekankan isi pesan sebuah karya daripada diksi. Karya mereka cenderung lebih bebas, tidak terpaku pada kaidah sastra Arab klasik. Terdapat dua komunitas yang bernaung di bawah madrasah ini, yaitu ar-Rabitha al-Qalamiyah dan al-'Ushbah al-Andalusiyah.
  3. Banyaknya karya sastra yang hadir dengan latar belakang pemikiran konvergensi antara tradisi Arab dan sastra Barat, seperti “Zaynab” karya Muhammad Husain Haekal, “Al-Ayyam” karya Taha Hussein, “Ushfurun minas Syarqi” karya Taufik al-Hakim, dan “Adibun fis Suqi” karya Umar Fakhuri yang bercerita tentang kehidupan masyarakan Arab modern.

Kesimpulan

Sudah menjadi hukum alam bahwasanya sebuah interaksi akan menghasilkan edukasi baru bagi kedua belah pihak, seperti halnya interpretasi yang terjadi antara sastra Arab dan sastra Barat. Keduanya saling terpengaruhi dan mempengaruhi. Namun, perlu di garis bawahi bahwasanya yang terpengaruhi sastra Barat itu adalah sastra Arab modern, bukan sastra Arab klasik yang mana bahasa dan pemikirannya masih murni dan belum tercampur dengan pengaruh luar.[]

*Penulis merupakan mahasiswi Jurusan Bahasa Arab Univ. Al-Azhar - Kairo
Editor: Ummu Maghfiroh
Publisher: Syafri Al Hafidzullah

1 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama