Masjid Agung di Kairo: [1] Jāmi’ Al-Hākim bi-Amrillah

Oleh: Tim Penulis Fan Maqal
Sumber Gambar: Kementerian Pariwisata dan Purbakala - Mesir
Jāmi’ Al-Hākim bi Amrillah dinisbahkan kepada khalifah Fathimiyah ketiga yang bernama Al-Hākim bi-Amrillah, karena dialah yang menyempurnakan bangunannya. Adapun yang membangun pertama kali adalah Al-‘Aziz bi-llah, ayah Al-Hākim. Adapun Al-‘Aziz bi-llah merupakan anak dari Al-Mu’iz li-Dinillah. Al-‘Aziz lahir di Maghrib dan menghabiskan masa kecil dan masa mudanya di sana. Kemudian ia membantu ayahnya dalam mengemban amanat negara yang dipimpin oleh ayahnya.

Dia berusaha untuk mencapai usaha yang dilakukan oleh orang-orang sebelumnya, yaitu menaklukkan Mesir sebagai bentuk perluasan kekuasaan Fathimiyah hingga kepulauan Arab dan negeri Syam. Hingga Dinasti Fathimiyah mencapai kedudukan Daulah ‘Abbasiyyah yang mana pada saat itu dalam keadaan lemah.

Ia menekuni pergerakan penaklukkan Mesir sejak ia lahir dan berkontribusi hingga ditetapkan baginya kemenangan. Maka Al-‘Aziz keluar bersama ayahnya ke Mesir dan bertempat di sana selama dua tahun sejak kedatangannya hingga ia memerintah Mesir sebagai Khalifah Fathimiyah. Dan pada masanya Dinasti Fathimiyah-lah menjadi sebuah impreum yang besar.

Penduduk Mesir menyambut kedatangan Al-Mu’iz dan masa kekuasaan Al-‘Aziz sebab perubahan hukum di Mesir merupakan faktor perbaikan keadan internal Mesir. Pada saat Mesir di bawah kekuasaan Dinasti ‘Abbasiyyah berada pada tingkat kesengsaraan dan kehancuran, maka dari itu orang-orang Mesir setuju atas berdirinya Dinasti Fathimiyah di Mesir.
Sumber Gambar: Kementerian Pariwisata dan Purbakala - Mesir
(Foto tampak atas dari bangunan masjid)
Setelah Jauhar Ash-Saqly menaklukkan Mesir, dia mulai membangun kota baru untuk Khilafah Fathimiyah yang berada di antara kota Fusthat (sebagai kota Islam pertama di Mesir), Askar (kota kedua), dan Qotoi’ (kota ketiga). Maka ia meletakkan pondasi awal ibu kota baru pada malam 17 Sya’ban tahun 358 Hijriah dan menamainya Al-Mansuriyyah sebagai bentuk pengabadian Al-Mansur, ayah Al-Mu’iz. Dan nama kota Al-Mansur tetap dipakai hingga datangnya Al-Mu’iz empat tahun setelah dibangunnya kota Al-Mansur dan menamai ibu kotanya dengan nama al-Qāhirah (Kairo).

Al-Mu’iz wafat pada bulan Rabiul Akhir tahun 365 Hijriah setelah memerintah selama 24 tahun, 22 tahun di Magrib dan 2 tahun di Mesir. Kemudian digantikan oleh anaknya Al-‘Aziz bi-llah.

Al-‘Aziz bi-llah memerintah pada bulan Rabiul Akhir tahun 365 Hijriah pada saat ia berusia 22 tahun dan merupakan seorang khalifah yang masih muda dengan kerajaan yang besar. Maka dari itu masa Al-‘Aziz merupakan masa keemasan bagi Dinasti Fathimiyah.

Sumber Gambar: Kementerian Pariwisata dan Purbakala - Mesir
(Foto tampak halaman bagian tengah terbuka dari masjid)
Para sejarawan banyak memuji Al-‘Aziz karena akhlak, kecerdasan, politik, dan toleransi yang ia buat. Hingga dikatakan bahwa ia merupakan penguasa Fathimiyah terakhir yang kuat karena mampu menstabilkan keadaan internal negara. Pada masanya tidak pernah terjadi pemberontakan internal dan menjadikan Dinasti Fathimiyah mendapatkan wibawa di seluruh negara yang ada di dunia.

Ketika Al-‘Aziz sakit keras, ia memanggil hakimnya yang bernama Muhammad bin Nu’man al-Maghribi dan Aba Muhammad Hasan bin Ammar, pemimpin suku Kitamah untuk memusyawarahkan untuk memberikan kekuasaan kepada anaknya Al-Hakim.

Al-‘Aziz wafat pada 28 Ramadhan tahun 368 Hijriah. Adapun kabar kematiannya membuat penduduk kota Kairo berduka. Al-Hakim pun dibaiat menjadi khalifah baru dan memakamkan ayahnya di kastel timur kota Kairo bersama ayahnya Al-Mu’iz dan para pendahulunya.

Para sejarawan kebingungan menentukan sifat-sifat Al-Hakim karena perlakuannya yang bertentangan dan perintah-perintahnya yang saling bertolak belakang. Beberapa sejarawan menuduhnya sebagai orang yang gila dan menyimpang, tetapi sebagian menafikan sifat tersebut yang terdapat dalam diri Al-Hakim seperti Ibnu Khaldun.

Pada masa Al-Hākim, Mesir menjadi negara yang makmur, tetapi di sisi lain menyebabkan adanya kekacauan sosial. Bahkan ia membatasi penduduk untuk meminum khamar dengan melarang penjualan anggur kecuali 4 Ritl dalam sekali beli. Ia juga melarang pemancingan ikan dan menyembelih hewan ternak untuk menjaga pasokan ikan dan daging dalam negeri.
Sumber Gambar: Kementerian Pariwisata dan Purbakala - Mesir
(Foto tampak arcade mengelilingi halaman dalam masjid)

Dibalik sifat sifat buruk Al-Hākim, ia juga memiliki sifat baik yaitu pengelolaan hukum dan membersihkan para hakim dari suap bahkan mengusir orang-orang yang sembrono di dalam kepemerintahannya.

Al-Hākim pun wafat pada 410 Hijriah menurut catatan Imam Al-Maqrizy. Dalam catatan lain dikatakan bahwa Al-Hakim dibunuh oleh saudara perempuannya, tetapi riwayat ini ditentang oleh Imam Al-Maqrizy bahwa kejadian tersebut tidaklah benar. Dalam riwayat lain ia dibunuh oleh seorang lelaki dari Bani Husain pada tahun 415 Hijriah.

Di masa kekuasaan Al-Hākim, ia menyempurnakan Jami’ yang dibangun oleh ayahnya Al-‘Aziz, yang mana Al-‘Aziz membangun sebuah Jami’ yang terletak di luar kota Kairo. Tetapi sebelum penyempurnaan bangunan rampung, ia wafat dan pembangunan ini dilanjutkan oleh anaknya, Al-Hākim.

Ya’qub bin Killis yang merupakan seorang menteri di era Al-Hākim diperintahkan sebagai penanggung jawab akan penyelesaian bangunan ini. Al-Hakim mengeluarkan dana sebesar 40.000 Dinar untuk pembangunan tersebut.

Hingga pembangunan Jami’ ini selesai pada bulan Ramadhan tahun 403 Hijriah. Al-Hākim pun melaksanakan shalat Jum’at di sana dan merupakan shalat Jum’at pertama yang dilakukan setelah sempurnanya pembangunan Jami’ ini. Ia juga menuliskan nama dan tanggal pembangunan tersebut di bagian pintu dan mimbar.

Pada masa khalifah Al-Mustansir (khalifah kelima Fathimiyah), ia melakukan pembaharuan kepada Jami’ Al-Hākim, yaitu memasukkan wilayah Jami’ ke dalam benteng Kairo. Yang mana pada masa Al-Mustansir, terjadi perluasan dan pembaharuan benteng Kairo. Pada masa ini juga masjid tersebut dimasukkan ke dalam benteng seperti yang kita lihat sekarang. Adapun pembaharuan yang terjadi ini berada dalam naungan menteri Al-Mustansir yang bernama Badruddin Al-Jamaly, yang juga merupakan panglima perang Fathimiyah.

Pada tahun 702 Hijriah, terjadi gempa bumi yang terjadi di Mesir dan menghancurkan dinding Jami’ Al-Hakim. Maka Amir Ruknuddin Baibar Al-Jasyankir, yang merupakan salah satu petinggi kerajaan era Mamalik, memerintahkan untuk menghancurkan dinding masjid dan mengembalikannya seperti semula dan memberi warna putih pada dindingnya.
Sumber Gambar: Kementerian Pariwisata dan Purbakala - Mesir
(Foto tampak air mancur beserta ruang tengah terbuka pada masjid)
Adapun bentuk umum dari Jami’ ini tersusun dari ruang tengah yang terbuka, bagian ini bernama sahn yang mengeliling empat sisi masjid. Pada bagian kiblat terdapat lima susunan tiang dan pada bagian ini juga terdapat dua kubah.

Pada bagian luar masjid terdapat pintu masuk yang menjadi salah satu pintu yang cukup langka, karena hanya ada satu pintu masuk yang seperti ini, yaitu Jami’ Al-Mahdiyah yang berada di Tunisia. Pada bagian depan juga terdapat dua menara di bagian selatan dan utaranya, yang diisi dengan ornamen tumbuhan dan geometri yang sangat detail dan diindahi dengan tulisan khat kufi berbunga.[]
Sumber Gambar: Kementerian Pariwisata dan Purbakala - Mesir
(Foto tampak luar pintu utama masjid)

Sumber Gambar: Kementerian Pariwisata dan Purbakala - Mesir
(Foto tampak dua menara masjid)
Sumber Gambar: Kementerian Pariwisata dan Purbakala - Mesir
(Foto tampak dekat dari salah satu menara masjid)

Sumber Gambar: Kementerian Pariwisata dan Purbakala - Mesir
(Foto tampak mihrab "ruang doa" pada masjid)

Sumber Gambar: Kementerian Pariwisata dan Purbakala - Mesir
(Foto tampak bagian luar lingkungan pada masjid)

Tulisan ini hasil terjemahan dari buku Masājid Mishr wa Auliya-u ash-Shalihun, karya Dr. Su'ad Mahir Muhammad
Editor dan Publisher: Syafri Al Hafidzullah

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama