Oleh: Farhan Zainul Fikri
Syair Arab Jahiliah merupakan syair
Arab yang digubah oleh para penyair Arab pada kisaran abad kelima dan keenam
Masehi. Saat itu, syair dijadikan alat untuk menyanjung diri serta dimanfaatkan
sebagai perangkat perang verbal. Hal tersebut membuat syair menjadi tolok ukur kehormatan.
Oleh karena itu, tidak asing jika penyenandungan syair pada zaman tersebut
menjadi ajang untuk berbangga-bangga antar kabilah dan menjadikan kedudukan penyair sebagai kebanggaan kabilah masing-masing.
Apabila ditilik dari kondisi sosial, moralitas dan tabiat Arab Jahiliah berbeda dengan agama Islam. Misalnya, kebiasaan mabuk-mabukan ataupun kegiatan muncikari yang merupakan hal haram dalam hukum agama Islam tersebar di mana-mana. Kondisi sosial tersebut memengaruhi penyair dalam meggubah syair-syair mereka. Para penyair sering menggunakan diksi vulgar dalam penggambaran cintanya kepada wanita. Selain itu, hal tersebut juga memengaruhi para penyair dalam mendeksripsikan kebiasaan dalam menikmati hidupnya. Mereka menikmati hidup mengikuti kebiasaan Jahiliah pada umumnya yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Contohnya Imru al Qais, salah seorang penyair besar Jahiliyah. Ia sering menggambarkan perempuan secara vulgar dalam syairnya. Ia acapkali menggubah kasidahnya menggunakan cara-cara yang tidak etis.
Uniknya, penulis menemukan syair yang menunjukkan nilai-nilai Islam pada masa Jahiliah. Syair tersebut adalah syair Inna Syiwâan wa Nasywatan karya Sulma bin Rabî’ah. Syair tersebut menunjukkan adanya keterkaitan antara nilai Islam dan Jahiliah dalam menanggapi kenikmatan dunia yang fana ini. Berikut adalah syair dari Sulma bin Rabî’ah yang ber-mathla’ Inna Syiwâan wa Nasywatan.
Sungguh,
syiwâ dan arak,
dan
larian seekor unta perkasa,
yang
diberikan beban oleh manusia menunaikan keperluannya
untuk
berkelana mencium ketenangan dan luas bentala,
dan
putih berlenggak-lenggok
bak
wayang dengan busana indah yang ditenun emas
dan
kekayaan, ketenangan hidup,
begitu
pula senar kecapi yang merdu
adalah
setitik kenikmatan hidup, dan pemuda
dengan
masanya, dan masa dengan sirkulasinya,
kemudahan
dengan kesulitan, kaya dengan kefakiran,
dan
kehidupan untuk kematian
telah
musnah kaum Thosam dan kaum setelahnya
seperti
kaum yang makan siang dengan daging anak sapi,
kaum
yang memiliki suara merdu, dan kaum Jâsy,
begitu
pula kaum tempat tinggal Luqman dan keturunannya
Dalam syair Sulma di atas, dapat ditemukan
keterikatan tersirat antara moralitas kehidupan kaum Jahiliah dan agama Islam.
Syair ini mengumpamakan kenikmatan dunia dengan banyak hal
yang bersifat temporer. Misalnya, waktu muda yang singkat ataupun mahluk hidup
yang cepat atau lambat akan merasakan kematian. Penyair banyak menggunakan
majas metafora dalam syairnya. Jika diteliti dalam kaidah Balaghah, struktur
syair ini sangat unik. Sulma menempatkan khabar înna pada bait kelima dalam syairnya. Hal ini dikarenakan banyaknya penggambaran kenikmatan hidup pada bait-bait sebelumnya.
Kemudian, penyair menempatkan khabar pada bagian akhir syair. Dikarenakan
hal tersebut, kesan bahwasannya setiap kenikmatan pasti ada
kebinasaan bertambah.
Bait pertama sampai dengan bait keempat menjelaskan kehidupan Arab Jahiliah dalam menikmati hidupnya. Kemudian, bait kelima sampai delapan menjelaskan kefanaan nikmat hidup orang Jahiliah dengan majas metafora. Sulma bin Rabî’ah dalam syairnya memberikan pesan bahwasannya kenikmatan dunia itu sirna dengan waktu. Hal tersebut memiliki keterikatan dengan sifat zuhud dalam agama Islam. Yang membedakan adalah, jika dalam Islam zuhud berfungsi sebagai pengingat akan keabadian akhirat dan kefanaan dunia agar rajin beribadah, dalam syair tersebut ia merupakan jawaban kepada penyair lain yang bersyair tentang kenikmatan hidup dan mengabaikan kefanaannya. Seakan-akan, Sulma menentang penyair tersebut dan berkata “Benar, semua itu adalah kenikmatan dunia. Akan tetapi, kekekalan tidak didapati di dalamnya.”
Zuhud merupakan salah satu sifat yang
selalu dijunjung tinggi dalam agama Islam serta memiliki arti yang dalam dan kompleks.
Jika sifat ini diartikan dengan perihal meninggalkan semua yang berbau
keduniawian, umat Islam akan terlampaui oleh orang-orang barat dalam
segala bidang. Akibatnya, agama Islam kerap dianggap sebagai umat
terbelakang yang hanya mementingkan akhirat dan melupakan dunia. Padahal, pada
abad pertengahan umat muslim menjadi umat yang memiliki peradaban paling maju pada semua bidang keduniaan.
Pada dasarnya, dunia ini bersifat
fana. Akan tetapi, keduniawian tetap harus ada sebagai wasilah untuk akhirat
dan keseimbangan harus tetap dijunjung di dalamnya. Hal ini merupakan sifat
yang ada di dalam diri Nabi Muhammad SAW. Sedangkan kefanaan dunia ini
hanya menjadi wasilah kita untuk mendapatkan surga dari Yang Maha Kuasa. Pada
potongan syair tersebut, Sulma bin Rabî’ah mengajak kita untuk berhenti sejenak
sambil merenungkan segala kenikmatan fana dunia. Lantas, sudahkah para pembaca
melakukannya?
Ini kerenn bangetttt.
BalasHapusPosting Komentar