Mengulik Sejarah Lahirnya Ilmu Balaghah

 Oleh: Muhammad Kamil


Pegiat bahasa Arab pasti mengenal ilmu Balaghah. Penguasaan atas ilmu Balaghah membuat seseorang lebih peka dengan keindahan yang tersirat dalam bahasa Arab. Keindahan tersebut dapat ditilik melalui pemilihan diksi, struktur kalimat dan kedalaman makna suatu ungkapan. Dalam al-Qur’an, misalnya, rahasia struktur al-Qur’an diungkap oleh para ahli bahasa yang mumpuni di bidang Balaghah, seperti imam Zamakhsyari dalam tafsirnya, al-Kassyâf. Selain kepekaan, penguasaan atas ilmu Balaghah juga memengaruhi kemahiran berbahasa terutama dalam beretorika. Oleh karena itu, ilmu tersebut terus dipelihara dengan kian banyaknya kitab mengenai ilmu Balaghah sampai sekarang. Lantas, pernahkah kita bertanya-tanya bagaimana sejarah lahirnya ilmu Balaghah?


 Sebelum masuk dalam pembahasan tentang sejarah ilmu Balaghah, saya akan membahas tentang definisi Balaghah. Balaghah sendiri memiliki banyak definisi. Salah satunya adalah husnul al-‘ibârah ma’a shihhati ad-dalâlati ‘alaih. Dalam definisi tersebut, terdapat dua unsur penting. Pertama, husnul al-‘ibârah, yang berarti ungkapan yang indah. Kedua, shihhati ad-dalâlati ‘alaih  yang berarti makna yang tepat atau sahih. Dari definisi tersebut, dapat kita pahami bahwa Balaghah adalah penyifatan untuk kalam yang indah dan jelas. Sedangkan ulama Mutaakhirin menjadikan kata Balaghah sebagai nama ilmu pengetahuan.


Pembahasan sejarah ilmu Balaghah dibagi ke dalam tiga fase. Pertama, Fase Dasar (Marhalatu al-Judzûr). Judzur yang dimaksud oleh ahli sejarah adalah pengamatan kritis yang bersandar pada perasaan (Salîqah). Hal tersebut mengafirmasi bahwa Balaghah sudah menjadi keahlian orang-orang Arab bahkan sebelum ia dikodifikasi. Sikap kritis tersebut pun menghasilkan kaidah-kaidah dalam ilmu Balaghah. Fase  ini dimulai dari masa jahiliyah sampai dengan Dinasti Umayah.


Salah satu sikap kritis tersebut bisa kita lihat dalam kisah Abu Bakar dengan seorang pemuda. Ia sedang memegang pakaian yang bagus. Lantas, Abu Bakar  bertanya, "Apakah kamu menjual pakaian ini?” Pemuda itu menjawab: لا عافاك الله"”, beliau pun berkata: "لقد علمتم لو تعلمون؛ قل: لا وعافاك الله". Sebenarnya, sang pemuda bermaksud untuk memberitahu bahwa ia tidak menjual baju tersebut  sembari mendoakan beliau. Akan tetapi, perkataannya  tanpa Waw ‘Ataf membuat orang lain memahami bahwa ia mendoakan agar Allah tidak menganugerahi kesehatan kepadanya. Hal ini dikarenakan Lâm Nafi masuk ke ungkapan doa tanpa pemisah. Lantas, Abu Bakar meluruskan jawaban sang pemuda dan memisahkan dua kalimat tersebut dengan huruf waw.


Para ulama bahasa pun  mengambil kiasan dari kejadian tersebut dan melahirkan salah satu kaidah dalam bab al-fashlu wa al-washlu, yaitu wujûbu al-washli bi al-wâwi likamâli al-inqithâ’ ma’a al-îhâm. Adapun kamâlu al-inqithâ’ di perkataan pemuda tersebut disebabkan oleh perbedaan jenis antara dua kalimat. Kalimat yang pertama khabariyyah dan yang kedua insyâiyyah.


Dengan demikian, tidak ada penetapan kaidah Balaghah secara tertulis di Fase Dasar. Akan tetapi, prakteknya sudah masyhur di kalangan Arab. Setelah Fase Dasar, Balaghah memasuki fase kedua, yaitu Fase Kemunculan (Marhalatu an-Nusyû’). Fase ini ditandai dengan kemunculan teori-teori Balaghah dalam karangan ulama. Fase tersebut melalui dua tahapan, pertama, bercampur dengan ilmu pengetahuan yang lain. Kedua, Balaghah cenderung menjadi pengetahuan yang mandiri.


Pada tahap pertama, pembahasan Balaghah terpusat dalam beberapa karangan para ulama, mulai di kitab ilmu ‘Alat, sastra, kritik sastra, dan kitab tafsir al-Qur’an. Dalam kitab ilmu ‘Alat, misalnya, kandungan Balaghah dapat kita temukan dalam karangan Nahwu milik imam Sibawaihi berjudul al-Kitâb. Di pembahasan isnâd wa al-muta’alliqât, beliau menjelaskan bahwa maf’ûl bih (objek) yang mendahului fâ’il (subjek) itu disertai alasan yang diinginkan si penutur, yaitu objek lebih ditekan untuk diperhatikan ketimbang subjek. Begitu juga jika objek mendahului kata kerjanya. Hal tersebut merupakan salah satu topik utama ilmu Balaghah dalam bab Taqdîm.


Pada tahap kedua, Balaghah cenderung menjadi pengetahuan yang mandiri. Jika sebelumnya Balaghah hanya terpusat dalam beberapa karangan ulama, pada tahap ini,  pembahasan Balaghah hampir mendominasi sebuah karangan, terutama buku kritik sastra. Salah satunya karya Abu Hilal al-‘Askary berjudul Kitâbu as-Shinâ’atain. Buku tersebut memuat pembahasan kritik Sastra dan Balaghah. Bahkan, buku tersebut lebih dominan dalam pembahasan Balaghah. Jadi, bisa kita simpulkan bahwa teori Balaghah di Fase Kemunculan tersebar di banyak pengetahuan dan belum menjadi satu disiplin ilmu yang mandiri.


Setelah melewati dua tahapan tersebut, Balaghah pun memasuki Fase Pematangan (Marhalat an-Nudhj). Fase ini diawali dengan penulisan Abdu al-Qâhir al-Jurjânî dua karya fondamentalnya yang berjudul Asrâru al-Balâghah dan Dalâilu al-I’jâz.  Dua karya tersebut menjadikannya Muassis al-Balâghah al-‘Arabiyyah di mana para ulama setelahnya menyempurnakan pengetahuan yang telah beliau bangun dasar-dasarnya. Pembahasan dalam Asrâru al-Balâghah itu selaras dengan Ilmu Bayan yang kita kenal sekarang. Sedangkan Dalâilu al-I’jaz selaras dengan tema-tema Ilmu Ma’ani. Akan tetapi, Al-Jurjânî tidak memberikan penamaan khusus kepada dua hal tersebut dikarenakan beliau menganggap kedua hal tersebut tidak berbeda.


Adapun pembagian Balaghah dengan nama Ilmu Ma’ani dan Ilmu Bayan dilakukan oleh Abu Ya’qub Yusuf ibn Abu Bakar as-Sakâkî. Terobosan tersebut beliau tuangkan dalam kitab berjudul Miftâhu al-‘Ulûm yang terdiri tiga pembahasan: Nahwu, Shorof, dan Balaghah. Beliau menyusun pembahasan Balaghah ke dalam bab-bab yang banyak diikuti oleh para ulama setelahnya. Nama beliau masyhur dalam sejarah Balaghah sebetulnya bukan karena kitab Miftâhu al-‘Ulûm secara keseluruhan, namun karena pembahasan ketiga yang berkenaan dengan Balaghah.


Adapun penamaan Ilmu Badi’ merupakan ijtihad imam Ibn Nâdhim at-Thâiy dalam bukunya berjudul al-Mishbah fî ‘Ulûmi al-Ma’ânî wa al-Bayân wa al-Badî’. Buku tersebut merupakan ringkasan bagian ketiga dari Miftâhu al-‘Ulûm. Ibn Nâdhim sepakat dengan imam as-Sakaki  mengenai Ilmu Ma’ani dan Ilmu Bayan sebagai pembahasan Balaghah, dan al-Fashohah merupakan pembahasan al-Muhassinât al-Badî’iyyah. Sedangkan al-Muhassinât al-Badî’iyyah mengikuti Ma’ani dan Bayan. Namun, ia tetap menjadikan hal tersebut menjadi ilmu tersendiri dengan nama Ilmu Badi’. Hal demikian merupakan titik awal ilmu Balaghah terbagi ke dalam tiga cabang. Di sisi lain, buku al-Mishbah fî ‘Ulûmi al-Ma’ânî wa al-Bayân wa al-Badî’ tidak terlalu dikenal meskipun telah banyak dicetak.


Setelah Ibn Nâdhim, datanglah imam al-Khatîb al-Qazwinî. Beliau juga meringkas bagian ketiga dari Miftâhu al-‘Ulûm dan bukunya berjudul Talkhîshu al-Miftâh. Beliau memisahkan Ilmu Badi’ dari Ilmu Ma’ani dan Bayan. Buku tersebut diterima oleh banyak kalangan dan menjadi salah satu kitab terkenal dalam Ilmu Balaghah. Beberapa ulama mensyarahkan dan memberikan komentar-komentar terhadapnya. Syarah paling terkenal adalah kitab al-Muthawwal milik imam Sa’duddin Mas’ud ibn Umar at-Taftazani dan al-îdhâh fî Talkhîshi al-Miftâh yang disyarah oleh pengarang langsung, al-Khatîb al-Qazwinî.


Demikianlah asal-usul lahirnya Balaghah sebagai pengetahuan yang kita pelajari sekarang. Sebagian ulama menulis salah satu cabang Balaghah saja dalam bukunya seperti kitab Tuhfatu al-Ikhwân fî ‘Ilmi al-Bayân karya imam Dardir yang berfokus pada Ilmu Bayan. Ada juga kitab al-Balâghatu al-Wâdhihah yang memuat ketiga cabang Balaghah. Buku tersebut ditulis oleh Ali Jarim dan Mushtafa Amin. Semoga dengan memahami sejarah perkembangan ilmu Balaghah, kita dapat semakin menghargai keindahan serta kekayaan bahasa Arab.

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama