Antara Konteks Syair Jahiliy dan Islami

Oleh: Faradila Fahma Qodriyah*
Sumber Gambar: Rinnaza
Masa di mana bangsa Arab sebelum kedatangan Islam dinisbahkan dengan Jahiliy. Dalam kitab Dalalah al-Ahfazh karya Ibrahim Anis, dikatakan bahwa "jahiliy" secara etimologi memiliki makna "Bodoh". Definisi Jahiliy mencakup segala aspek kehidupan pada masa sebelum datangnya Islam. Menurut Ibnu Mandzur, era Jahiliy diartikan sebagai "membangkang" yakni rujukan pada orang Arab pra-Islam yang tidak percaya Allah Swt. serta Rasul-Nya. Umumnya masyarakat Jahiliy bisa dikatakan kaum 'Ummiy. Dikatakan demikian karena masyarakat Arab pra-Islam belum melek akan huruf tulisan dan hanya mengandalkan daya ingat. Lalu apakah masyarakat Arab pra-Islam benar-benar suatu kaum yang bodoh sehingga tidak tersentuh tinta dan kertas? Kita akan temukan jawabannya melalui tulisan ini, In Syaa Allah.

Gambaran mengenai kehidupan lampau masa Jahiliy masih bisa dijangkau hingga saat ini. Kemasyhuran arab Jahiliy dalam penggunaan bahasa banyak melahirkan karya-karya sastra yang cukup apik. Seperti puisi atau syair, peribahasa, kisah-kisah, hingga kasidah. Berdasar pada keindahan gaya sastra yang mereka miliki, kesusastraan Arab tidak bisa dikatakan biasa. Bahkan menjadi masterpiece sastra yang diakui dunia. Dalam sastra, arab Jahiliy terkenal cukup detail dan indah. Hanya dengan menjelaskan definisi laba-laba, mereka akan membawa kita ke dunia laba-laba sesungguhnya. Dari cara berjalan, merangkai sarang, cara induk laba-laba meregang nyawa setelah melahirkan, dan sebagainya.

Corak Syair Masa Jahiliyah

Pada masa Jahiliy, corak syair terbilang cukup sederhana dengan tema alam, flora, fauna, nilai-nilai sosial yang bertema nomadisme. Bersumber dari hal itulah syair mereka terbentuk. Proses alami dari sistem masyarakat Arab inilah yang mendorong mereka mampu menciptakan lagu-lagu atau puisi untuk menghibur jiwa dan mengusir sepi. Dengan kata lain, syair-syair Arab secara harfiah berkembang karena imbas kemampuan khayalan mereka dengan sistem kehidupan Badui. Syair yang mereka tulis bukan hanya sekedar susunan kata belaka, namun berisi tujuan yang ingin mereka sampaikan. Karena syair adalah bahasa ungkapan perasaan.

Dalam kitab Tarikh Adab al-'Arabiy karya Doktor Abd al-Halim an-Najjar, beberapa tujuan (ghardu) syair Jahiliy yang terkenal di antaranya: Ghazal, Fakhr, Maddh, Ratsa', dan Hija'. Dahulu dalam penggambaran keindahan dan kemolekan rupa wanita, masyarakat Jahiliy menerapkan syair ghazal atau bisa disebut rayuan. Tujuannya yakni tidak lain untuk merayu seorang wanita dengan bahasa rayuan. Seperti syair Umru al-Qais dalam perjalanannya bersama 'Unaizah:

ويوم دخلت الخدرخدرعنيزة *** وقاليت لك الويلات إنك مرجلى

تقول وقد مال الغبيط بنامعا *** عقرت بعيرى ياامرأالقيس فانزل

فقلت لها سيرى وارخى زمامه *** ولاتبعدينى من جناك المعلل

Artinya: "Suatu hari ketika aku sedang masuk dalam Haudatnya (tempat duduk di atas panggung unta khusus bagi wanita) 'Unaizah (kekasihnya), maka 'Unaizah berkata kepadaku: 'Celaka kamu! Janganlah kamu payahkan untukku!' Ketika punggung untanya agak condong ke bawah (keberatan), maka ia berkata kepadaku: 'Turunlah hai Umrul Qais! Janganlah kamu ganggu jalan untaku ini!' Di saat itu kukatakan padanya: 'Teruskan perjalananmu dan lepaskan tali kekangnya dan janganlah engkau jauhkan aku dari sisimu!'"


Berbeda dengan Fakhr, bukan sebagai rayuan, tetapi untuk memuji atau mengunggulkan sebuah kaum dan kemenangannya.

Tak kalah terkenal, syair dengan tujuan Maddh yang merupakan pujian untuk seseorang atas kepiawaiannya yang dilengkapi dengan gaya bahasa suka cita. Kebalikannya dari Ratsa', salah satu tujuan syair yang masyhur akan renungan serta tumpahnya air mata. Ratsa' bertujuan untuk merintih akan kepergian seseorang dan mengingat jasanya. Dan yang terakhir, yakni Hija'. Sebuah syair yang bertujuan untuk mencemooh atau mencaci dengan menunjukkan keburukan seseorang.

Corak Syair Pada Masa Awal Islam

Zaman awal Islam bermula dari masa Rasulullah Saw. berdakwah di Makkah pada tahun 610 M hingga masa Khulafaurasyidin. Islam tersebar begitu luas serta mengalami banyak kemajuan dalam bidang keilmuan. Masa awal Islam berakhir bersamaan dengan berakhirnya masa Khulafaurasyidin. Dari sinilah terbentuknya kerajaan Islam pertama, yakni Bani Umayyah. Dalam perkembangan Islam, bangsa Arab mengalami banyak perubahan khususnya dalam aspek kesusastraan Arab. Perubahan tersebut tidak lain bergeser karena adanya agama Islam dan Al-Quranul Karim.

Beberapa sejarawan berpendapat bahwa syair awal Islam mengalami kemerosotan dibanding masa Jahiliyah. Dikarenakan masyarakat Islam konon kurang mengindahkan syair, dan beberapa diksi yang tidak melebur dalam kehidupan Islam. Terutama turunnya ayat Al-Quran surah Asy-Syu'ara ayat 224-227 yang menyinggung beberapa penyair dengan tindakan cukup amoral. Pun pada masa kejayaan Islam, masyarakat disibukkan dengan berjihad dan berdakwah.

Namun menurut Ibnu Khaldun dalam kitab al-Muqaddimat, kedudukan syair pada masa Islam pada hakikatnya tidaklah pudar. Justru berkembang baik sesuai dengan syariat. Beberapa diksi yang dinilai tidak pantas mulai dihilangkan serta bergeser. Sebaliknya, ia menerima syair yang seiring berjalan dengan syariat Islam dan Al-Quran.

Beberapa corak syair Islam justru semakin berkembang, di antara tujuannya yakni: berkembangnya syair Fakhr menjadi Hamasah. Dengan definisi yang sama, namun pada syair Hamasah terdapat pujian serta seruan kepada Allah Swt. Adapun tujuan lain yakni I'tidzar, yang mana bertujuan untuk meminta maaf atas perkataan atau kesalahan yang terjadi. Pada masa Islam, corak syair juga meliputi lingkungan dakwah dan jihad. Sehingga muncul syair-syair bertujuan dakwah dan kritikan atau saat ini bisa disebut Roasting.

Contoh syair Hasan bin Tsabit yang memuji Rasulullah Saw. dan menyerukan Islam:

ما انَّ مَدحْتُ محمدا بمقالتي *** لكن مدحت مقالتي بمحمد

Maknanya yang mana Hasan memuji keelokan Nabi Muhammad, sehingga ia tidak merasa syairnya indah dengan memuji Rasul, melainkan justru kesempurnaan Rasul-lah yang membuat syair Hasan menjadi indah.


Konteks Diksi Syair Pada Masa Jahiliyah dan Awal Islam

Perubahan sistem kehidupan serta munculnya ajaran-ajaran Islam membuat beberapa perubahan konteks syair yang cukup fundamental. Alasannya tidak lain karena dihapusnya beberapa kosakata Arab Jahiliy yang dianggap tidak pantas, masuknya kosakata asing ('ajam) yang terlanjur meluas ke jazirah Arab serta konteks Jahiliy yang mengalami perluasan makna.

Perubahan konteks diksi tersebut dapat dirangkum dalam tiga perkara. Yang pertama, adanya penghapusan sebagian corak kesusastraan Arab Jahiliy. Dari mulai pilihan kata yang terbilang vulgar, cacian-cacian antar kabilah, hingga pujian kepada berhala.

Berikut sebagian kecil contoh dari kosakata yang dialihkan maknanya atau dihapuskan sebagai berikut:
  1. ربي: Pada masa Jahiliy, kata Rabbiy dimaksudkan untuk tuan atau orang yang berkedudukan. Namun dalam Islam, kata itu hanya berlaku untuk Tuhan saja. Sebutan tuan atau orang yang terhormat biasa memakai Sayyidi atau Maulaya. Sehingga kata tersebut dihapuskan. Dan hanya digunakan sebagai muhasabah kepada Tuhan Yang Maha Esa.

  2. المرباع: bermakna seperempat dari rampasan perang. Sebab datangnya Islam dengan kedamaian. Maka sistem rampasan yang merugikan kabilah dihapuskan. Sehingga konteks tersebut tidak lagi digunakan.

  3. ضرورة: maknanya orang yang belum berhaji. Namun tidak digunakan lagi setelah turunnya Hadits Rasul "la dharurata fil Islam".

  4. الصفي: bagian seperempat hasil rampasan perang yang kemudian dipilih oleh pemimpin kabilah.
Kedua, adanya corak baru seperti syair al-Washfu. Yang definisinya tidak lagi mendeskripsikan khamar (minuman memabukkan), perjudian, dan juga pemujaan berhala. Melainkan diubah dengan menyifati sesuatu yang baik. Dan di antara kosakata yang diubah antara lain:
  1. الصلاة: yang berarti doa, menjadi shalat atau ibadah. Pada era Jahiliy, kerap disandarkan pada doa-doa atas berhala. Namun berubah menjadi ibadah setelah datangnya Islam.

  2. الصيام: yang berarti menahan, berubah menjadi puasa.

  3. الكفر: berarti menutupi, kemudian berubah menjadi ingkar atau orang yang tidak beriman.

  4. الفسق: diartikan untuk sebuah kurma yang keluar dari kulitnya, kemudian berubah menjadi fasik atau seseorang yang melihat tapi tidak meyakini dan melaksanakannya.
Ketiga, adanya pengembangan konteks syair Jahiliy yang sesuai dengan Islam. Seperti keluwesan bahasa Arab kuno sehingga memunculkan banyak penyair Islam yang mulai meneliti betapa luas dan indahnya bahasa Arab Jahiliy. Dari penelitian tersebut, lahirlah macam-macam cabang keilmuan bahasa seperti: ilmu Nahwu, Sharaf, serta Balaghah.

Dalam hal ini bisa disimpulkan bahwa bangsa Arab Jahiliy tidak selalu merujuk pada kebodohan atau kerapuhan dalam bidang keilmuan. Hanya saja bangsa Arab masa itu tidak mengenyam pendidikan secara layak. Tidak adanya rujukan kitab bahkan belum mengetahui budaya literer. Namun warisan sastra yang begitu ikonik tidak bisa ditepis. Karya sastra Arab Jahiliy bisa dikatakan sebagai masterpiece budaya Arab. Justru dengan adanya kesusastraan Arab Jahiliy mendorong adanya bahasa Arab standar yang menjadi bahasa utama masyarakat Arab.

Masuknya Islam, syair-syair Arab tetap berkembang dengan segala perubahan aspeknya. Agama Islam membawa pengaruh besar terhadap perubahan aspek negatif yang dibawa dari konteks Arab Jahiliy menjadi bahasa yang lebih sesuai dengan syariat Islam. Seni berbahasa pada awal Islam bergeser secara signifikan dengan ranah religiositas.[]

*Penulis merupakan mahasiswi Jurusan Bahasa Arab Univ. Al-Azhar - Kairo
Editor: Ummu Maghfiroh
Publisher: Syafri Al Hafidzullah

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama